Banyak analisis menyebutkan bahwa pelemahan nilai tukar mata uang di negara-negara yang sedang tumbuh pesat (emerging markets), termasuk Rupiah, belakangan ini lebih disebabkan karena kinerja transaksi berjalannya yang mengalami defisit (current account deficit). Analisis ini tentu tidak keliru. Defisit transaksi berjalan menyebabkan kemampuan emerging markets dalam memasok dollar Amerika Serikat (USD) di negaranya menjadi berkurang. Namun, khususnya dalam konteks Indonesia, sepertinya kita perlu mencermati akar permasalahan sesungguhnya dibalik pelemahan nilai tukar ini agar kebijakan kita tidak keliru dalam menyikapinya.
Dalam beberapa bulan ini, mata uang emerging markets terdepresiasi cukup tajam. Pelemahan ini juga dipicu oleh pengumuman bank sentral Amerika Serikat (AS), the Federal Reserve (the Fed), yang berencana akan mengurangi stimulus moneter secara gradual. Michael Hood dari J.P. Morgan dalam analisisnya di majalah Institutional Investoredisi September 2013 menyebutkan bahwa sejak Mei hingga akhir Agustus lalu, mata uang emerging markets terdepresiasi rata-rata 10 persen. Bahkan, beberapa negara mengalami depresiasi yang besar, seperti Rupee India (22 persen) dan Rupiah (17 persen). Sedangkan Peso Mexico terdepresiasi sebesar 11 persen sejak awal kuartal kedua 2013.
Depresiasi Versus Defisit Transaksi Berjalan
Belajar dari pengalaman masa lalu, memang terdapat korelasi antara defisit transaksi berjalan dengan pelemahan nilai tukar. Sebagai contoh, Meksiko di tahun 1994. Karena, defisit berjalan yang besar pada akhir 1994, sekitar 8 persen dari PDB, telah menyebabkan nilai tukar Peso mengalami depresiasi sampai 50 persen, cadangan devisa terkuras, inflasi meningkat tajam, suku bunga naik tajam dari 13 persen menjadi 39 persen dalam seminggu, dan perekonomian terancam resesi.
Namun demikian, kinerja transaksi berjalan yang dialami emerging markets saat ini sesungguhnya tidak dapat menjelaskan secara utuh kaitannya dengan pelemahan nilai tukar mata uang mereka. Dalam dua tahun terakhir ini, PDB negara-negara emerging markets sesungguhnya mengalami pertumbuhan yang melambat. Pertumbuhan ekonomi yang melambat, defisit neraca berjalan juga tidak terlalu besar (karena tekanan impor tidak terlalu tinggi). Dengan kata lain, pertumbuhan PDB emerging markets tidak sampai overheating yang menyebabkan tingginya impor dan inflasi.
Analisis Michael Hood menyebutkan bahwa ternyata pola pelemahan nilai tukar masing-masing negara emerging markets di atas tidak sepenuhnya memiliki korelasi yang positif dengan besarnya defisit transaksi berjalan yang dialaminya. Sebagai misal, pelemahan mata uang terbesar dialami Rupee India (22 persen). Padahal, defisit transaksi berjalan India relatif moderat, sebesar 4 persen dari PDB-nya. Uniknya, beberapa negara yang memiliki defisit transaksi berjalan lebih besar justru mengalami pelemahan nilai tukar mata uang yang lebih rendah. Dan beberapa negara berkembang yang transaksi berjalannya surplus, ternyata mengalami pelemahan nilai tukar mata uang yang relatif tajam.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Tahun 2012 lalu, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 2,7 persen dari PDB. Pada kuartal pertama dan kedua 2013 masing-masing mencapai 2,6 persen dan 4,4 persen dari PDB. Defisit transaksi berjalan Indonesia sesungguhnya masih moderat. Namun, kita saksikan bahwa pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap USD cukup besar. Di sisi lain, Malaysia, Philipina, dan Thailand yang transaksi berjalannya surplus, mata uangnya justru terdepresiasi cukup besar, yaitu sebesar 8 hingga 9 persen. Dengan kata lain, kinerja transaksi berjalan yang dialami emerging markets tidak sepenuhnya dapat menjelaskan pelemahan nilai tukar mata uang masing-masing negara.
Satu hal yang juga patut dicatat bahwa sebenarnya kita tidak perlu terlalu khawatir dengan transaksi berjalan yang defisit. Defisit transaksi berjalan tidak berarti menunjukkan kegagalan ekonomi. Bahkan sebaliknya, hal itu bisa menunjukkan bahwa ekonomi kita tumbuh. Ekonomi yang sedang tumbuh biasanya impornya meningkat (khususnya barang modal) yang tentunya menyebabkan tekanan terhadap transaksi berjalan. Pada umumnya, emerging markets yang mengalami defisit transaksi berjalan dibarengi pula dengan surplus neraca modal (capital account surplus). Defisit transaksi berjalan itu dibiayai oleh masuknya modal asing.
Hal itu juga yang terjadi pada Indonesia. Tahun 2012 lalu, transaksi berjalan mengalami sebesar US$24,4 miliar atau sekitar 2,7% dari PDB. Namun, defisit transaksi berjalan ini juga diimbangi oleh surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat pesat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu mencapai US$25,1 miliar, sehingga Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih mengalami surplus sebesar US$0,2 miliar dan cadangan devisa dapat dipertahankan pada tingkat relatif aman.
Hanya memang, yang harus dijaga adalah hendaknya defisit transaksi berjalan tersebut tidak dibiayai dengan arus pemasukan modal yang spekulatif. Pengalaman di Meksiko tahun 1994, penyebab keterpurukan Peso adalah karena kebanyakan modal yang masuk bersifat jangka pendek (portofolio) dan bukan investasi jangka panjang.
Dalam hal ini, saya percaya bahwa kondisi yang dialami Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan Meksiko tahun 1994. Betul bahwa investasi portofolio masih cukup besar dalam struktur neraca modal kita. Namun demikian, posisinya jauh lebih rendah dibanding investasi langsung. Kenaikan surplus transaksi modal dan finansial selama tahun 2012 di atas bukan hanya berasal dari investasi portofolio, tetapi juga terutama berasal dari investasi PMA, dan didukung pula oleh semakin besarnya porsi devisa hasil ekspor yang diterima melalui perbankan domestik.
Kesimpulannya, terlihat bahwa pelemahan nilai tukar mata uang emerging markets(termasuk Rupiah) bukanlah semata persoalan defisit transaksi berjalan. Dalam konteks Indonesia, pelemahan Rupiah yang begitu masif dalam dua bulan terakhir ini jelas bukan berasal dari persoalan fundamental kita. Patut diduga, pelemahan nilai tukar mata uang emerging markets ini adalah reaksi berlebihan (overreact) dari pelaku pasar terhadap rencana kebijakan pengetatan moneter the Fed melalui pengurangan stimulus moneternya. Di sisi lain,nilai tukar mata uang negara-negara Eropa saat ini cukup stabil yang diduga karena membaiknya ekspor dan perbaikan posisi neraca transaksi berjalan mereka.
Dengan kata lain, pelemahan nilai tukar mata uang emerging markets saat ini merupakan gejala pembalikan modal (capital flow reversal) yang memang seharusnya dialami (termasuk oleh Indonesia) sebagai hal yang normal. Karenanya, kebijakan otoritas ekonomi (Bank Indonesia dan pemerintah) dalam rangka “menyelamatkan” nilai tukar Rupiah pun hendaknya tidak berlebihan. Kebijakan yang berlebihan, misalnya, dengan menaikan suku bunga yang terlalu tinggi dan pengetatan likuiditas yang berlebihan justru akan menyebabkan kesulitan ekonomi yang lebih tinggi. Dan ujungnya akan menyebabkan kemampuan kita menghasilkan devisa melalui ekspor dan investasi menjadi berkurang.***
*Sunarsip adalah Ekonom The Indonesia Economic Intelligence. Artikel ini telah dimuat Koran Tempo, Selasa, 10 September 2013.