Oleh Sunarsip*)
REPUBLIKA, Senin 7 Desember 2020 | Rubrik Analisis |
Hampir semua negara memberlakukan kebijakan subsidi kepada rakyatnya yang memang memerlukan dukungan. Pada umumnya, subsidi diberikan kepada rakyat yang tidak mampu (miskin). Namun, banyak juga negara yang memberikan subsidi tidak spesifik untuk rakyat miskin, tetapi untuk mencapai tujuan tertentu. Amerika Serikat (AS), misalnya, secara konsisten memberikan subsidi yang besar setiap tahunnya untuk sektor pertaniannya. Konon, besarnya subsidi untuk sektor pertanian yang digelontorkan pemerintah AS jauh di atas subsidi yang dikeluarkan oleh negara-negara agraris sekalipun.
Pada 2017, pemerintah AS menggelontorkan subsidi untuk sektor pertaniannya sebesar 7,2 milliar dollar AS (The Balance, 2020). Meskipun banyak kritik bahwa subsidi tersebut banyak dinikmati oleh para pelaku besar di sektor pertanian, pemerintah AS tetap melanjutkan kebijakan subsidinya. Karena memang, tujuan subsidi tersebut bukan hanya untuk petani miskin, namun lebih kepada untuk tujuan menjaga ketahanan pangan nasional. Pemerintah AS ingin menjamin bahwa subsidi yang diberikan dapat mengurangi risiko bagi seluruh petani dari cuaca dan penyakit, mengurangi kerugian akibat permainan broker komoditi dan mengurangi risiko akibat disruptif permintaan (disruptions in demand).
Moral cerita yang ingin saya sampaikan dari kasus subsidi di AS tersebut adalah hendaknya kita jangan apriori terhadap subsidi. Di negara yang “super kapitalis” sekalipun, pemerintahnya masih memberlakukan subsidi, bahkan jumlahnya juga relatif besar. Subsidi, dimanapun, akan selalu diperlukan untuk menjaga stabilitas sekaligus untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu. Oleh karenanya, sia-sia saja bila ada sekelompok pihak yang ingin menghilangkan keberadaan subsidi dari suatu perekonomian. Subsidi bisa dikurangi, namun tidak bisa dihilangkan.
Kebijakan subsidi, pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua model. Pertama, kebijakan subsidi untuk mencapai tujuan tertentu (by goals). Kedua, kebijakan subsidi untuk melindungi kelompok masyarakat sasaran (by target).
Di Indonesia, kebijakan subsidi telah mengalami berbagai fase. Di era Orde Baru, kedua model kebijakan subsidi tersebut diberlakukan. Di awal-awal Orde Baru, subsidi untuk sektor pertanian diperbesar dalam rangka mencapai ketahanan pangan. Seluruh pelaku di sektor pertanian menikmati subsidi ini. Pemerintah juga memberikan subsidi energi (BBM dan listrik) praktis bagi seluruh masyarakat. Dan khusus bagi kelompok miskin, selain menikmati kedua subsidi tersebut, pemerintah juga menambah dengan berbagai macam skim bantuan sosial.
Dalam perjalanannya, kebijakan subsidi mengalami perubahan, terutama sejak krisis ekonomi 1997 dan berakhirnya Orde Baru. Kebijakan subsidi berdasarkan tujuan tertentu (by goals) mulai dikurangi. Pemerintah lalu lebih memfokuskan kebijakan subsidi berdasarkan masyarakat sasaran (by target). Beragam kebijakan subsidi dirancang agar subsidi hanya diterima oleh kelompok masyarakat sasaran.
Sejak tahun 2015, pemerintah telah mengurangi subsidi BBM melalui pengurangan penjualan BBM bersubsidi. Subsidi listrik juga dikurangi dengan menciptakan beragam struktur tarif berdasarkan kelompok pelanggan. Kemudian diciptakan pula mekanisme Automatic Tarif/Price Adjustment (ATPA) di sektor energi sejak 2014 bagi pelanggan non-subsidi. Misalnya, bila harga-harga energi primer (minyak mentah dan batubara), nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS dan inflasi mengalami perubahan maka harga BBM dan tarif listrik bagi pelanggan non-subsidi dapat langsung menyesuaikannya.
Reformasi subsidi memang telah membuahkan hasilnya. Namun, bila kita runtut bahwa proses ini telah dimulai sejak awal reformasi (1997/1998), terlihat bahwa hasil dari reformasi subsidi ini masih berjalan lambat. Kita pernah sukses mengurangi subsidi dalam jumlah yang signifikan pada 2015. Dimana, subsidi dapat dikurangi sekitar 50 persen yaitu dari Rp392 triliun (2014) menjadi Rp186 triliun (2015). Pengurangan subsidi terutama dari subsidi energi, yaitu dari Rp342 triliun (2014) menjadi Rp119 triliun (2015). Namun, keberhasilan dalam menekan subsidi energi ini sebenarnya juga karena ada momentum, dimana harga minyak mentah (ICP) turun dratis dari 96,5 dollar AS per barel (2014) menjadi 49,2 dollar AS per barel (2015).
Dalam perjalanannya, perlahan subsidi (terutama energi) kembali meningkat. Peningkatan kembali subsidi terjadi sejak 2018. Selain itu, karena mekanisme ATPA tidak berjalan, pemerintah menciptakan “dana kompensasi”. Dana kompensasi ini diberikan untuk mengganti kehilangan pendapatan yang dialami Pertamina dan PLN karena ATPA tidak dapat dijalankan. Dana kompensasi muncul karena Pertamina dan PLN tidak diperbolehkan menaikan harga BBM dan tarif listrik mengikuti perkembangan kenaikan biaya produksi. Sebenarnya, dana kompensasi ini esensinya hampir sama dengan subsidi. Dan yang menikmati dana kompensasi ini sebenarnya kelompok masyarakat yang ketika reformasi subsidi dicanangkan menjadi target yang subsidinya dikurangi.
Tapi begitulah realitas dalam pengelolaan kebijakan ekonomi. Pemerintah kadang-kadang memang terpaksa “melanggar” komitmennya sendiri demi menjaga kepentingan yang lebih luas. Dan saya kira justru keliru, dalam kondisi ekonomi sedang sulit saat ini, pemerintah justru menghilangkan subsidi atau sejenisnya hanya demi alasan, misalnya: menjaga disiplin fiskal. Jangan sampai kita mengulang kejadian di 1997/98. Dimana, demi alasan menjaga disiplin fiskal (sesuai komitmen dengan IMF), pemerintah waktu itu menaikan harga BBM hingga lebih dari 150 persen. Akibatnya, gejolak sosial ekonomi terjadi dimana-mana yang justru semakin memperparah krisis ekonomi saat itu.
Namun demikian, komitmen reformasi subsidi tidak boleh putus. Pasca krisis, reformasi subsidi harus kembali dijalankan demi memperkuat fondasi fiskal ke depan. Keberadaan dana kompensasi, misalnya, tahun depan perlu ditinjau kembali. Ini mengingat, bila dilihat dalam konteks pemberian dukungan finansial oleh pemerintah, sebenarnya tidak tepat sasaran. Bagi BUMN terkait juga tidak menguntungkan karena meskipun mereka dapat mengakuinya sebagai pendapatan, namun tidak serta merta diikuti dengan aliran kas.
Subsidi dikembalikan kepada yang berhak menerima (by target). Dana kompensasi perlu direalokasikan, misalnya untuk mendukung UMKM, baik dukungan dalam bentuk finansial, harga energi yang terjangkau, maupun infrastruktur seperti digitalisasi.
Tentunya, kebijakan subsidi dan sejenisnya yang diambil saat ini berikut konsekuensinya seperti dana kompensasi, tetap harus dipenuhi pemerintah. Dengan demikian, besarnya subsidi dan dana kompensasi yang timbul juga harus dibayar pemerintah.
Terdapat kemungkinan pemerintah tidak akan membayar kewajibannya (terutama dana kompensasi) secara penuh. Bisa jadi, pemerintah akan mengambil skema pembayaran yaitu mengakui kewajiban/utang kepada BUMN terkait namun pembayarannya dikompensasikan dengan dividen yang menjadi hak pemerintah di tahun mendatang. Bila opsi ini yang diambil, yang menjadi taruhan adalah kondisi likuiditas BUMN terkait.
Bagi BUMN terkait, tentunya tidak menginginkan opsi kompensasi dividen yang diambil karena pasti akan mengganggu likuiditas mereka. Namun, BUMN juga tidak bisa menolak bila kebijakan itu yang diambil. Begitulah sifat dari suatu kebijakan ekonomi. Selalu tidak bisa menyenangkan semua pihak. Dan saya kira, semua pihak yang terkait di dalamnya telah siap dengan berbagai konsekuensi, bila suatu kebijakan telah diambil.*
*)Sunarsip adalah Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence. Pernah menjadi Analis Makro dan Fiskal di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI (2004-2008) dan Tenaga Ahli untuk Komisi VII dan XI DPR RI (2015-2017). Tulisan merupakan pendapat pribadi.
https://www.republika.id/posts/12251/jalan-berliku-reformasi-subsidi