Korporasi dan “Kekosongan” Perppu No.1/2020

Korporasi dan “Kekosongan” Perppu No.1/2020

BISNIS.COM – Jumat, 17 April 2020

Oleh Sunarsip – Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence (IEI)

Pemerintah telah mengeluarkan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona. Perppu ini dibutuhkan sebagai payung hukum bagi pemerintah dan otoritas lainnya untuk melakukan extraordinary actions dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi. Sesuai namanya, Perppu No.1/2020 ini mengatur dua lingkup otoritas yaitu (i) otoritas keuangan negara (fiskal) dan (ii) otoritas stabilitas sistem keuangan.

Di bidang keuangan negara, Perppu No.1/2020 antara lain (i) memberikan kewenangan kepada pemerintah (Menteri Keuangan) melakukan pelampauan defisit fiskal (APBN) di atas 3% dan (ii) refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan anggaran baik di pusat (APBN) dan daerah (APBD). Sedangkan di bidang stabilitas sistem keuangan, Perppu No.1/2020 mengatur (i) perluasan kewenangan bagi Bank Indonesia (BI) sebagai “the last resort” dan (ii) kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan.

 

Tekanan Ganda (Dual Shock)

Saya ingin menggambarkan bahwa ekonomi Indonesia saat ini sebenarnya menghadapi tekanan ganda (dual shock). Tekanan ekonomi tidak hanya disebabkan Covid-19, tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Apa saja itu? Pertama, pelemahan nilai tukar Rupiah. Nilai tukar Rupiah kini berada di level Rp16.410 per USD (per 7 April). Pelemahan ini berpotensi merugikan korporasi yang membutuhkan dukungan impor, seperti manufaktur, konstruksi, dan transportasi. Pelemahan Rupiah menyebabkan impor bahan baku dan barang modal menjadi lebih mahal. Akibatnya, produksi terganggu karena korporasi tidak sanggup melakukan impor akibat mahalnya barang impor.

Pelemahan Rupiah juga meningkatkan biaya korporasi dari sisi pembayaran utang luar negeri (ULN).  Berdasarkan statistik ULN yang diterbitkan BI, posisi ULN korporasi per Januari 2020 mencapai USD203,04 miliar atau sekitar 49,43% dari total ULN Indonesia. Sementara itu, ULN korporasi yang jatuh tempo tahun ini mencapai USD48,79 miliar atau sekitar 24,03% dari total ULN korporasi, jumlah yang tidak kecil. Peningkatan biaya pembayaran ULN terjadi karena Rupiah yang dibutuhkan untuk membeli USD semakin besar.

Kedua, melemahnya harga komoditas. Hampir seluruh harga komoditas tumbuh negatif di 2020. Penurunan harga komoditas terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan bahan baku dari industri. Harga minyak juga turun yang disebabkan oleh melemahnya permintaan di tengah potensi peningkatan pasokan. Pasokan minyak meningkat akibat adanya tambahan produksi dari non-OPEC (terutama Rusia) yang tidak sepakat dengan perpanjangan pembatasan produksi (oil cuts).

Melemahnya harga komoditas memiliki dampak yang sama dengan terganggunya aktivitas sektor ekonomi akibat Covid-19. Melemahnya harga komoditas berpotensi menurunkan produksi dan ekspor, pendapatan korporasi, yang ujungnya akan menurunkan kinerja korporasi, terjadinya pemutusan hubungan kerja dan berpotensi menimbulkan kebangkrutan. Dari sudut makro ekonomi, melemahnya ekspor ini berpotensi menurunkan kemampuan negara dalam menghasilkan devisa serta penerimaan bagi APBN.

 

“Kekosongan Perppu No.1/2020”

Perppu No. 1/2020 mengatur kewenangan pemerintah terkait penggunaan APBN. Namun, peruntukan dana APBN terbatas untuk menyelamatkan (i) program pemerintah, (ii) konsumsi rumah tangga miskin dan rentan miskin dan (iii) daya tahan UMKM. Pemerintah telah mengeluarkan paket stimulus ekonomi senilai Rp405 triliun yang peruntukannya sesuai dengan Perppu No.1/2020. Hanya saja, paket stimulus ekonomi ini kurang mengakomodir kebutuhan korporasi yang terdampak akibat tekanan ganda di atas.

Sementara itu, kewenangan terkait dengan stabilitas keuangan lebih banyak mengatur tentang penyelamatan sektor keuangan (terutama perbankan). Sedangkan kebutuhan korporasi non-keuangan kurang tersentuh. Korporasi non-keuangan memang memperoleh fasilitas kemudahan restrukturisasi kredit. Sayangnya, mekanisme penyelesaian utang di luar perbankan nasional belum terakomodir.

Perlu dicatat bahwa sumber krisis di sektor keuangan biasanya juga berawal dari kegagalan korporasi non-keuangan. Belajar dari krisis ekonomi di 1998, kebutuhan yang tinggi terhadap valuta asing (valas) baik untuk impor dan pembayaran ULN yang tidak dapat disediakan pasar telah menyebabkan nilai tukar melemah tajam di 1998. Konsekuensinya, pelemahan nilai tukar tersebut berdampak negatif terhadap sektor keuangan dan selanjutnya pada seluruh sektor ekonomi.

PLN dan Pertamina adalah korporasi yang sebagian besar transaksinya menggunakan USD. Pertamina lebih beruntung dibanding PLN karena memiliki pendapatan yang menghasilkan USD, yaitu dari menjual minyak. Sedangkan PLN lebih banyak mengalami mismatch. Pendapatan dari penjualan listrik PLN banyak berbentuk Rupiah, belanjanya lebih banyak dalam USD. Sebagai informasi, PLN dan Pertamina merupakan korporasi non-keuangan yang memiliki kebutuhan valas terbesar di Indonesia.

Pelemahan nilai tukar, tentu akan mendorong kenaikan biaya bagi PLN dan Pertamina. Pertamina membutuhkan USD untuk impor minyak, mengelola investasi hulunya di luar negeri, serta membayar obligasi luar negeri (global bond). Sedangkan PLN membutuhkan USD untuk pembelian energi primer (BBM, batubara dan gas), impor peralatan listrik, serta pembayaran ULN. Nah, penyelesaian masalah korporasi non-keuangan semisal PLN dan Pertamina inilah yang relatif “kosong” pengaturannya di Perppu No. 1/2020.

Saya mengusulkan beberapa kebijakan untuk membantu korporasi non-keuangan yang terdampak akibat tekanan ekonomi ganda di atas. Pertama, perlu disiapkan forum yang berperan sebagai mediator untuk membantu restrukturisasi ULN korporasi. Restrukturisasi utang diperlukan untuk menjaga cash flow korporasi. Data memperlihatkan, ULN korporasi yang berupa perjanjian kredit sekitar 75% dari total ULN korporasi. Saat ini, perbankan di hampir seluruh dunia melakukan relaksasi terhadap pinjaman para debiturnya terkait Covid-19. Tentu ini merupakan peluang untuk memperoleh relaksasi dari perbankan luar negeri. Forum tersebut akan lebih efektif bila difasilitasi pemerintah.

Kedua, adanya mekanisme fasilitas penyediaan valas oleh BI dengan biaya yang wajar (acceptable). Fasilitas valas ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran ULN yang relatif sulit direstrukturisasi seperti obligasi. Tentu tidak semua korporasi dapat memperoleh fasilitas ini, karena keterbatasan BI dan regulasi. Fasilitas ini diberikan kepada korporasi yang memiliki peran strategis dan “sistemik” dalam penyediaan barang dan jasa bagi publik. Saya berpendapat, PLN dan Pertamina merupakan korporasi yang memenuhi persyaratan ini.

Mekanismenya antara lain PLN dan Pertamina menerbitkan surat berharga (obligasi). Surat berharga ini lalu dibeli BI dengan janji akan dibeli kembali oleh penerbit (Reverse Repo). Hasil dari penjualan surat berharga nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran ULN (refinancing). Konsep ini sebenarnya meniru model pembelian surat berharga oleh The Fed ketika diterapkannya quantitative easing (QE) di 2008. Dimana, selain membeli obligasi pemerintah, the Fed juga membeli surat berharga korporasi. Dengan cara ini, kebutuhan valas PLN dan Pertamina dapat terpenuhi dengan biaya yang wajar. ***

Dimuat Bisnis Indonesia, Jumat 17 April 2020. Link: https://koran.bisnis.com/m/read/20200417/251/1228364/strategi-kebijakan-hadapi-bencana-kekosongan-perppu-no.-12020

Close Menu