Siklus Pemulihan: Menuju “V” atau “W”?

Siklus Pemulihan: Menuju “V” atau “W”?

 Oleh Sunarsip*)

| dimuat oleh REPUBLIKA | Senin, 8 Februari 2021 | Rubrik Analisis |

Akhir pekan lalu, BPS telah mengumumkan pertumbuhan ekonomi selama 2020 yang mencatatkan kontraksi atau pertumbuhan negatif sebesar -2,07 persen (year on year/yoy). Realisasi kinerja pertumbuhan ekonomi selama 2020 ini, lebih baik dibandingkan dengan proyeksi pemerintah (dalam hal ini Kemenkeu) yang pada awal Januari 2021 memperkirakan tumbuh -1,7 persen hingga -2,2 persen (yoy). Namun demikian, kalau kita runtut dari proses perjalanan proyeksi pertumbuhan ekonomi, capaian kinerja pertumbuhan ekonomi selama 2020 sebenarnya dibawah ekspektasi.

Dokumen resmi (awal) APBN 2020 disusun dengan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Kemudian, direvisi turun menjadi tumbuh 0,5 persen melalui Perpres No. 72/2020 yang terbit pada Juni 2020. Selain itu, Kemenkeu juga beberapa kali menerbitkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020.

Saya mencatat, Kemenkeu setidaknya mengeluarkan sebanyak 6 kali publikasi, yang seluruhnya konsisten merevisi turun dari proyeksi yang dibuat sebelumnya. Dari perjalanan proses proyeksi inilah, terdapat realitas bahwa kinerja perekonomian 2020 harus diakui dibawah ekspektasi.

Pada November lalu, di harian ini, saya memunculkan optimisme bahwa pemulihan ekonomi kita akan dapat berbentuk “V” atau setidaknya berbentuk “U” yang menunjukan bahwa ekonomi kita berpotensi pulih lebih cepat. Namun, dengan melihat perkembangan terakhir, kita juga perlu mengantisipasi potensi terjadinya pola pemulihan berbentuk “W” atau varian lainnya. Dan bila varian ini terjadi, berarti akan memunculkan pola “zig-zag” dalam proses pemulihan ekonomi kita dan itu berarti proses pemulihan berpotensi berjalan lebih lama. Tentunya, kita tidak berharap pola ini yang terjadi.

Berdasarkan kinerja ekonomi 2020, terlihat bahwa seluruh komponen PDB, mengalami pertumbuhan lebih rendah dan sebagian besar tumbuh negatif. Komponen PDB yang mengalami kontraksi paling dalam adalah ekspor dan impor. Selama 2020, ekspor terkontraksi -7,70 persen dan impor -14,70 persen. Penurunan ekspor mencerminkan adanya gangguan perdagangan luar negeri, baik disebabkan oleh melemahnya demand dari luar negeri maupun gangguan produksi di dalam negeri.

Sementara itu, tajamnya kontraksi impor selain mendukung dugaan terjadinya gangguan produksi, juga memperlihatkan pelemahan investasi dan aktivitas proyek. Covid-19 jelas menjadi salah satu penyebab terganggunya ekspor, impor, dan investasi.

Pertanyaannya, apakah di tengah Covid-19, ketiga aktivitas tersebut ke depan masih harus dikurangi?

Bila melihat kinerja negara-negara mitra dagang kita, terlihat bahwa terdapat peluang untuk mendorong ekspor di 2021. Tahun lalu, ekonomi Tiongkok tumbuh positif sebesar 2,3 persen dan berhasil terindar dari resesi. Tiongkok adalah negara tujuan ekspor kita terbesar di Asia saat ini. Pada Januari 2021, IMF memproyeksikan ekonomi Tiongkok akan tumbuh 8,1 persen. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tinggi merupakan potensi akan terjadinya kenaikan impor dan kenaikan ekspor negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Melihat potensi ekspor selama 2021, tentunya hal ini perlu dimanfaatkan secara maksimal. Gangguan produksi selama Covid-19 yang menghambat ekspor, baik di sektor manufaktur, pertanian, dan pertambangan perlu diselesaikan agar kita tidak kehilangan momentum memanfaatkan potensi kenaikan demand dari luar negeri. Perlu dipertimbangkan, misalnya, percepatan vaksinasi secara khusus bagi pelaku di sektor-sektor yang terkait ekspor (termasuk supply chain utamanya) agar tidak terganggu Covid-19.

Pada 2020, pertumbuhan konsumsi RT terkontraksi -2,63 persen. Terkontraksinya konsumsi RT tentunya disayangkan, mengingat kontribusinya terhadap PDB yang tinggi (bahkan terbesar), yaitu 57,66 persen.

Terkontraksinya konsumsi RT tentu harus dicegah agar tidak terjadi lagi di 2021. Penurunan kinerja konsumsi RT jelas salah satunya dipengaruhi oleh daya beli. Namun, apakah turunnya daya beli harus menyebabkan pertumbuhan konsumsi RT negatif negatif? Ini yang perlu didalami.

Ada satu fakta menarik yang mungkin ini dapat menunjukkan adanya anomali dibalik pertumbuhan konsumsi RT yang negatif. Biasanya, seseorang mengalami penurunan daya beli karena berkurangnya penghasilan, mereka akan menarik simpanannya di bank untuk memenuhi kebutuhan hidup. Atau, mereka akan menjual aset tetapnya (properti misalnya) secara cut loss sehingga harga properti turun.

Namun faktanya, dana masyarakat di perbankan tumbuh tetap tinggi, sebesar 11,11 persen selama 2020. Kemudian, harga properti, baik itu rumah residensial maupun komersial selama 2020 masih mengalami pertumbuhan, meskipun tipis. Logikanya, kalau mereka membutuhkan uang, mereka akan cut loss agar cepat memperoleh cash.

Berdasarkan data ini, kontraksi pertumbuhan konsumsi RT dapat diduga tidak seluruhnya disebabkan oleh turunnya daya beli, terutama yang berasal dari kelompok masyarakat menengah ke atas. Dapat diduga, mereka tidak melakukan konsumsi bukan karena kehabisan penghasilan, namun karena sengaja tidak melakukan konsumsi. Mereka tidak melakukan konsumsi karena ruang untuk konsumsi terbatas akibat kebijakan pembatasan aktivitas yang masih terjadi.

Melihat kemungkinan penyebab terjadinya konstraksinya di sisi konsumsi RT ini, kita memiliki potensi untuk menggenjotnya di tahun ini. Dengan kata lain, kita sebenarnya memiliki banyak potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi RT.

Kuncinya adalah mampu mensiasati berbagai keterbatasan agar orang (terutama kelompok menengah ke atas) tetap melakukan konsumsi di tengah pandemi Covid-19. Salah satu caranya adalah melalui jalur pariwisata.

Di tengah kejenuhan dalam menjalani kebijakan pembatasan aktivitas yang sudah hampir setahun, pasti orang membutuhkan ruang untuk rekreasi. Bila pemerintah mampu mendesain wisata yang aman selama pandemi, saya yakin potensi yang tersimpan di atas akan menjadi peluang untuk menggerakan sektor pariwisata dan sektor turunan lainnya.

Memang betul bahwa terdapat pula pengaruh turunnya daya beli terhadap kinerja konsumsi RT. Pengaruh penurunan daya beli ini terutama berasal dari kelompok menengah ke bawah, terutama dari kalangan pekerja tidak tetap dan pekerja tetap namun penghasilannya rendah.

Kelompok ini jumlahnya cukup besar dan pemerintah sepertinya perlu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja yang dirasakan kurang efektif menjaga daya beli mereka.

Kemudian, untuk mendorong kinerja pembiayaan terutama bagi pelaku UMKM dan ekspor, kinerja perbankan (khususnya) juga perlu didorong. Terkonstraksinya pertumbuhan kredit selama 2020 sebesar -2,41 persen, lebih buruk dibanding pertumbuhan ekonomi, memperlihatkan perbankan belum mampu menjadi driver bagi pemulihan ekonomi.

Bank masih menjadi follow the business, belum create the business. Salah satu caranya adalah memperbaiki regulasi di tingkat industri maupun indikator kinerja pelaku perbankan.

Meskipun bukan merupakan satu-satunya cara untuk mempercepat pemulihan, namun bila langkah-langkah di atas dilakukan, saya yakin akan membantu proses pemulihan ekonomi. Semaksimal mungkin, 2021 dapat kita wujudkan sebagai tahun kebangkitan agar pola pemulihan ekonomi kita berbentuk V.

Dimana, kinerja kuartal IV-2020 kita tempatkan sebagai kinerja terendah dan selanjut dalam kuartal-kuartal berikutnya tumbuh meningkat. Semoga, pola pemulihan ekonomi kita tidak berbentuk “W” atau varian lainnya, karena pola ini akan berdampak negatif bagi masyarakat. ***

*)Sunarsip adalah Ekonom Senior di The Indonesia Economic Intelligence (IEI). Tulisan merupakan pendapat pribadi.

https://www.republika.id/posts/14045/siklus-pemulihan-menuju-%E2%80%98v%E2%80%99-atau-%E2%80%98w%E2%80%99

Close Menu