JAWAPOS.COM – Jumat, 1 Mei 2020
Oleh Sunarsip – Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
Dalam rangka mencegah meluasnya penularan Covid-19 ke daerah-daerah, pemerintah pusat (pempus) telah mengeluarkan kebijakan larangan mudik lebaran di 2020 ini. Tentunya, kebijakan ini akan berdampak kurang baik bagi ekonomi di daerah. Pasalnya, meskipun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlalu tinggi, namun tradisi mudik terbukti memberikan dampak positif bagi geliat ekonomi di daerah, terutama dari sisi peningkatan redistribusi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (RT).
Dalam kondisi normal, setiap tahun jumlah pemudik diperkirakan mencapai sekitar 20 juta penduduk. Katakanlah, diasumsikan terdapat 10 juta keluarga pemudik dan setiap keluarga ini membawa uang sekitar Rp10-15 juta, berarti akan terjadi transfer uang ke daerah setidaknya Rp 100-150 triliun. Jumlah ini belum termasuk dari luar negeri (TKI) yang biasanya membawa pulang seluruh pendapatannya yang diperoleh dari bekerja selama berbulan-bulan. TKI tidak hanya melakukan redistribusi pendapatan ke daerah, mereka juga membawa valuta asing (valas) yang dibutuhkan untuk memperkuat cadangan devisa kita.
Kini, dengan dilarangnya aktivitas mudik, dapat diperkirakan pada kuartal II-2020, ekonomi daerah tidak akan segairah tahun lalu. Mobilitas penduduk dan uang diperkirakan akan lebih sepi dibanding tahun lalu. Tentunya, kebijakan ini menjadi tambahan tantangan bagi daerah yang kini sedang berupaya mengatasi dampak ekonomi dari Covid-19 ini. Namun, apa boleh buat, kebijakan larangan mudik memang harus diambil demi mencegah lebih banyak korban akibat wabah Covid-19.
Tahun ini, daerah-daerah memang menghadapi tantangan ekonomi yang cukup berat. Covid-19 telah menghambat aktivitas ekonomi daerah. Di banyak daerah, baik Jawa dan luar Jawa, pemerintah daerahnya (pemda) memberlakukan pembatasan aktivitas fisik untuk menghambat laju penularan Covid-19. Dampaknya, aktivitas produksi terganggu. Gangguan produksi berarti pekerjaan berkurang dan orang yang kehilangan penghasilan bertambah.
Di tengah semakin banyaknya orang yang kehilangan penghasilan, semestinya anggaran yang disediakan pemda untuk mensubsidi warga miskin, rentan miskin, dan penduduk yang tiba-tiba menjadi pengangguran juga semakin besar. Sayangnya, kemampuan keuangan pemda (APBD) saat ini justru berpotensi menurun. Kenapa begitu?
Pertama, seiring dengan terganggunya kegiatan produksi, pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) juga berpotensi turun. Konsekuensinya, penerimaan daerah baik dari pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil (DBH) pajak yang diterima daerah juga berpotensi turun.
Kedua, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) juga berpotensi turun. Bahkan, pada 14 April lalu, IMF memperkirakan PDB Indonesia hanya tumbuh 0,5% di 2020. Bila pertumbuhan PDB turun, penerimaan negara juga turun sehingga dana alokasi umum (DAU) untuk daerah juga turun.
Ketiga, di luar dampak Covid-19, daerah juga menghadapi tantangan lain. Covid-19 telah menghentikan aktivitas manufaktur di luar negeri. Akibatnya, permintaan bahan bakunya juga terhenti. Indonesia adalah pengekspor bahan baku untuk manufaktur di luar negeri. Kita mengekspor sawit ke India dan Tiongkok. Indonesia pengekspor batubara terutama ke Tiongkok. Kita juga mengekspor logam seperti nikel, timah, tembaga dan aluminium ke Tiongkok, Jepang, AS dan Eropa. Karena aktivitas manufaktur di luar negeri terhenti, ekspor kita juga terhenti. Karena kelebihan produksi, harganya pun turun. Data memperlihatkan selama 2020 harga komoditas (termasuk minyak) tumbuh negatif dibanding tahun lalu.
Daerah-daerah yang ekonominya bergantung pada komoditas, terutama di luar Jawa, berpotensi kehilangan pendapatan. Pelemahan nilai tukar Rupiah yang semestinya dapat melipatgandakan pendapatan, menjadi hilang akibat sepinya pembeli dan rendahnya harga. Pendapatan petani dan perusahaan tambang turun. Di sisi lain, tekanan biaya tidak berkurang. Bahkan, beberapa diantara mereka membiayai usahanya dari kredit dari lembaga keuangan. Potensi kredit macet pun membesar. Pemda di daerah penghasil pun berpotensi kehilangan pendapatan, terutama penerimaan daerah berupa dana bagi hasil (DBH) pertambangan (migas dan non-migas).
Itulah beberapa tantangan ekonomi yang dihadapi daerah, khususnya oleh pemda, di tengah Covid-19 ini. Pengeluaran diperkirakan membesar, penerimaan justru menurun. Pertanyaannya, lalu apa yang perlu dilakukan khususnya oleh pemda untuk mengatasi kondisi sulit ini? Saya mengusulkan beberapa hal yang perlu dilakukan pemda untuk mengatasi tantangan di atas.
Pertama, pemda dan DPRD harus sepakat bahwa kita harus totalitas (at all cost) untuk mengatasi Covid-19 dan dampaknya. “health first, wealth later”. “Kesehatan dulu, ekonomi nanti.” Karenanya, pemda harus diberi kewenangan melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan APBD. Belanja daerah harus difokuskan untuk penanganan Covid-19 serta warga yang terdampak. Dana desa harus dipergunakan untuk kegiatan produktif desa dan bersifat padat karya.
Kedua, bila diperlukan, pemda jangan ragu menyusun APBD yang defisit. Tentunya, pemda juga telah menyiapkan strategi untuk membiayai defisit itu. Pembiayaan harus dari sumber internal, yaitu dengan memanfaatkan saldo anggaran lebih (SAL) yang merupakan akumulasi dari sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) setiap tahun, jangan berhutang.
Ketiga, pemerintah pusat telah mengeluarkan paket stimulus, baik tunai (incash) maupun non tunai (inkind) terkait dengan penanganan dan dampak Covid-19 senilai Rp405 triliun. Otoritas jasa keuangan (OJK) juga telah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit bagi pelaku usaha yang terdampak Covid-19. Karenanya, pemda harus memanfaatkan secara maksimal berbagai stimulus ini agar dapat dinikmati warga yang terdampak Covid-19.
Pemda harus mendata warga miskin, rentan miskin agar mereka memperoleh haknya berupa bantuan sosial (tunai dan non tunai) yang telah disiapkan pempus. Pemda harus mendata warganya yang berstatus pencari kerja agar mereka memperoleh haknya berupa dana cadangan (allowances) yang disiapkan pemerintah pusat melalui Kartu Pra-Kerja. Pemda juga harus menjadi fasilitator bagi pelaku usaha, terutama UMKM, agar memperoleh fasilitas restrukturisasi kredit karena tidak mampu membayar cicilan kredit akibat terdampak Covid-19. Pemda juga harus menjadi fasilitator bagi warganya yang membutuhkan kredit usaha rakyat (KUR) dari bank untuk pengembangan usahanya.
Keempat, dalam kondisi sedang krisis, fokus daerah seharusnya pada upaya memulihkan krisis, termasuk percepatan penanganan wabah Covid-19. Karenanya, selain memanfaatkan stimulus ekonomi dari pempus, pemda melalui instrumen APBD-nya juga dapat berkontribusi mempercepat pemulihan. Strateginya, dengan memberikan stimulus berupa relaksasi pajak dan retribusi daerah terhadap sektor usaha tertentu yang terdampak Covid-19. Tujuannya, agar di masa penanggulangan Covid-19, perusahaan tetap memberikan penghasilan bagi pekerjanya secara wajar.
Kita berharap upaya penanganan wabah Covid-19 di daerah juga berjalan efektif. Bila efektif, wabah Covid-19 dapat berakhir lebih cepat, sehingga biaya sosial dan ekonominya dapat lebih rendah. Dan pada akhirnya, pemulihannya juga dapat lebih cepat.***
Dimuat Jawa Pos, Jumat 1 Mei 2020. Link: https://www.jawapos.com/opini/01/05/2020/ekonomi-daerah-di-tengah-covid-19/