Tantangan Sektor Kelistrikan Di Tengah Covid-19

Tantangan Sektor Kelistrikan Di Tengah Covid-19

KONTAN.CO.ID – Rabu, 15 April 2020

Oleh Sunarsip – Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence (IEI)

Covid-19 telah menyebabkan sebagian aktivitas ekonomi terganggu (bahkan terhenti), seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan sektor lainnya. Terhentinya aktivitas ekonomi, tentunya memberikan dampak negatif terhadap rumah tangga (RT) dan dunia usaha (korporasi). Dampak terhadap RT berupa penurunan daya beli. Sedangkan dampak bagi korporasi berupa penurunan (i) pendapatan, (ii) keuntungan dan (iii) potensi mengalami kesulitan cash flow. Terlebih lagi, selain terpaksa mengurangi aktivitas usaha, korporasi kini juga dihadapkan pada melemahnya nilai tukar Rupiah yang tentunya akan menambah biaya bagi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri (ULN).

 

Tantangan PLN

Seiring dengan terhentinya aktivitas ekonomi, konsumsi listrik juga terdampak. Berdasarkan data dari Statistik PLN, pelanggan industri dan bisnis memiliki pangsa sekitar 52% dari total konsumsi listrik pada 2018. Sebelum Covid-19, pertumbuhan konsumsi listrik sudah relatif rendah. Berdasarkan perhitungan saya, selama 2014-2018, pertumbuhan (CAGR) konsumsi listrik sebesar 4,25%. Angka ini di bawah pertumbuhan ekonomi (PDB) sekitar 5,0%. Padahal, di periode sebelumnya, pertumbuhan konsumsi listrik biasanya di atas pertumbuhan PDB. Sebagai gambaran, periode 2008-2014, konsumsi listrik tumbuh (CAGR) 7,45% dan periode 2002-2008 tumbuh 6,77%.

Rendahnya konsumsi listrik sebelum Covid-19 terutama berasal dari pelanggan RT, dimana pada 2014-2018 hanya tumbuh (CAGR) 3,86%. Rendahnya pertumbuhan listrik dari RT ini antara lain disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan konsumsi RT serta perubahan pola konsumsi listrik. Nah, dapat diprediksikan betapa dampak Covid-19 ini akan semakin memukul konsumsi listrik. Kini, sumber pelemahan konsumsi listrik tidak hanya dari RT, tetapi juga berasal dari industri dan bisnis. Hampir dapat dipastikan pertumbuhan konsumsi listrik di 2020 akan turun, bahkan berpotensi terkontraksi.

Dalam situasi seperti ini, tentu yang paling merasakan dampaknya adalah pelaku usaha di sektor kelistrikan, terutama PLN. Terlebih lagi, di tengah melemahnya pertumbuhan konsumsi listrik yang berarti menurunkan pendapatan listrik, PLN juga menghadapi tantangan lain yang tidak kalah berat. Apa saja itu?

Pertama, PLN menghadapi kontrak listrik take or pay (TOP) dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Kontrak TOP mewajibkan PLN menyerap listrik sebesar prosentase minimal sesuai availability factor (AF) yang telah ditetapkan dari kapasitas total pembangkit listrik menurut (Power Purchase Agreement/PPA). Sebagai misal, kapasitas pembangkit 100 MW, AF-nya dalam PPA sebesar 80%, maka PLN harus membeli setidaknya 80 MW. Jika tak mampu menyerap hingga 80 MW, PLN harus membayar denda TOP kepada IPP.

Dalam situasi saat ini, kontrak TOP ini jelas memberatkan PLN. Pertumbuhan konsumsi listrik menurun. Akan tetapi, pembelian listrik PLN dari IPP tidak boleh berkurang. Konsekuensinya, PLN terpaksa mengurangi pembelian listrik dari pembangkit milik sendiri dalam rangka menekan biaya serta menghindari pinalti akibat kontrak TOP.

Kedua, PLN menghadapi nilai tukar Rupiah yang melemah. Nilai tukar masih di level Rp16.000-an per USD. Rendahnya nilai tukar ini akan memukul PLN dari sisi keuangan. Perlu diketahui, PLN sebenarnya mengalami mismatch antara pendapatan dan biayanya. Pendapatan dari penjualan listrik PLN lebih banyak berbentuk Rupiah, sedangkan biayanya lebih banyak dalam USD. Melemahnya nilai tukar berpotensi mendorong kenaikan biaya bagi PLN, seperti untuk pengadaan energi primer (BBM, batubara dan gas), impor peralatan, serta pembayaran ULN.

PLN merupakan BUMN yang disebut pemerintah wajib terlibat dalam meringankan beban kelompok masyarakat tertentu yang terdampak Covid-19 melalui keringanan tagihan listrik. Dalam kondisi normal, PLN telah mengalami tantangan akibat pertumbuhan konsumsi listrik yang rendah. Kini, di tengah Covid-19, tantangan PLN bertambah karena juga wajib meringankan tagihan masyarakat yang berarti mengurangi pendapatan PLN.

 

Solusi Bagi PLN

Pemerintah tentunya telah memahami kondisi yang dihadapi PLN. Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan untuk mendukung PLN agar mampu beroperasi di tengah tantangan yang cukup berat. APBN kini harus menanggung stimulus besar, sekitar Rp405 triliun untuk mengurangi beban RT dan dunia usaha yang terdampak Covid-19. Tampaknya, peluang bagi PLN memperoleh tambahan subsidi (dan kompensasi) dari APBN cukup berat. Karenanya, bila kompensasi dari sisi pendapatan tidak diperoleh, pemerintah perlu memikirkan kompensasi dalam bentuk lain.

Saya mengusulkan beberapa hal yang dapat diberikan sebagai “kompensasi lain” bagi PLN. Pertama, kebijakan harga energi primer yang acceptable bagi PLN. PLN memiliki komponen biaya yang besar dari energi primer. Harga energi primer masih relatif tinggi, terutama gas. Pemerintah telah berencana menetapkan harga gas untuk listrik PLN sebesar USD6 per mmbtu. Kebijakan ini positif untuk menurunkan biaya produksi listrik PLN.

Kedua, adanya fasilitas penyediaan valas oleh Bank Indonesia (BI) dengan biaya yang wajar dalam rangka mengurangi dampak pelemahan nilai tukar terhadap kebutuhan valas PLN. Fasilitas valas ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran ULN. PLN adalah BUMN yang memiliki peran strategis dan “sistemik” dalam penyediaan layanan bagi publik. Karenanya, sangat berisiko bagi PLN dan stabilitas pasar keuangan bila PLN dibiarkan membeli valas di pasar (market) dengan harga yang berlaku saat ini.

Mekanismenya antara lain dengan PLN menerbitkan surat berharga. Surat berharga ini lalu dibeli BI dengan janji akan dibeli kembali oleh penerbit (Reverse Repo). Hasil dari penjualan surat berharga nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran ULN (refinancing). Konsep ini sebenarnya meniru model pembelian surat berharga oleh The Fed ketika diterapkannya quantitative easing (QE) di 2008. Dimana, selain membeli surat berharga pemerintah, the Fed juga membeli surat berharga korporasi. Dengan cara ini, kebutuhan valas PLN dapat terpenuhi dengan biaya yang wajar.

Ketiga, pemerintah perlu memfasilitasi renegosiasi kontrak TOP antara PLN dan IPP swasta. Kontrak TOP perlu dimodifikasi untuk meringankan beban keuangan PLN. Kontrak TOP dibuat dengan asumsi pertumbuhan konsumsi listrik tinggi, namun faktanya konsumsi listrik tumbuh rendah (bahkan negatif). Kini saatnya, IPP swasta turut berbagai beban (sharing the pain) dengan PLN. Saya mengusulkan adanya penurunan kewajiban TOP, misalnya sebesar 15% hingga 30% dari kontrak PPA selama 5 tahun ke depan. Setelah 5 tahun, dengan asumsi pertumbuhan konsumsi listrik telah normal, kewajiban TOP sesuai PPA dengan IPP swasta dapat dijalankan kembali.

Tantangan yang dihadapi PLN tahun ini cukup berat. Karenanya, Covid-19 ini perlu sekaligus menjadi momentum untuk mendorong keberpihakan seluruh pihak kepada PLN. PLN adalah perusahaan negara strategis dan sekaligus “sistemik” bagi perekonomian. Kita tidak boleh membiarkan PLN bertarung sendiri dengan keterbatasannya. Sangat penting bagi PLN agar tetap mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, menjaga kesehatan keuangan, serta memiliki cash flow yang cukup. Tujuannya, agar PLN mampu menjalankan misi pemerintah, menyelesaikan kesulitan ekonomi yang sedang dihadapi negara.***

 

Dimuat harian KONTAN, Rabu, 15 April 2020. Link : https://analisis.kontan.co.id/news/sektor-kelistrikan-di-tengah-covid-19

Close Menu